Senin, 23 November 2015

Si Kerdil Homo floresiensis “Perdebatan tiada berujung”



Si Kerdil Homo floresiensis “Perdebatan tiada berujung”

Anggreni Liunokas


Perjalanan menakjubkan ke zaman purba

Sabtu, 14 November 2015, jam 11.00 WIB, dengan diiringi terik sang surya yang mulai menunjukkan kekuasaannya atas alam semesta ini, akhirnya rombongan kami yang dipimpin langsung oleh Bapak Ferry Karwur tiba di bumi sangiran, sebuah situs arkeologi di jawa, Indonesia. Daerah yang terdiri dari 56 km2 (7km × 8km) ini terletak di Jawa Tengah, sekitar 15 km sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo. Secara administratif, kawasan Sangiran terbagi antara 2 kabupaten yaitu Kabupaten Sragen (Kecamatan Gemolong, Kecamatan Kalijambe, dan Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo). Di sambut penuh ramah oleh Peneliti lulusan Arkeologi UGM, Pak Iwan Setiawan Bimas mengisyaratkan sangiran sebagai tempat yang tepat untuk menjawab semua misteri kehidupan dan budaya hidup manusia dalam situasi ilmiah. Beliau yang sudah menantikan kedatangan kami langsung mengantarkan rombongan ke ruang pertemuan Prof. Dr. Teuku Jacob, sengaja dinamakan demikian sebagai penghormatan atas dedikasi yang luar biasa dalam mempelopori dan mengembangkan ilmu tentang manusia purba (paleoantropologi) di Indonesia, telaah beliau terhadap fosil-fosil manusia purba Sangiran telah menembus dalam di dunia ilmiah, yang dikagumi secara nasional dan dihormati oleh kalangan internasional ujar Pak Iwan sambil mempersiapkan materi ‘The Homeland of Java Man’, namun sebelum materinya dimulai anggota rombongan kami diperkenalkan satu per satu oleh pak Ferry agar kecanggungan bagi anggota rombongan yang baru pertama kalinya datang dan bersentuhan langsung dengan situs warisan dunia yang mengesankan ini bisa di minimalisir. Dan pemaparan materi pun dimulai, semua yang ada termasuk saya sangat menikmati, terlelap dan seakan turut ada dalam perjalanan menakjubkan ke ratusan bahkan miliaran tahun lalu tanpa sekata patah pun hingga slide terakhir di tampilkan oleh pak Iwan, yang ada hanya reaksi tepukkan tangan bahagia, puas, bangga dan merasa mendapatkan sesuatu yang sangat berharga saat merasakan dengan kesadaran penuh jika tempat kami duduk adalah sejarah ditemukannya Homo erectus (manusia tegak) jenis tipik yang dikenal “Sangiran 17“. Bagaimana jika kubah sangiran ini tidak terbentuk? Akankah tetap menjadi teka teki bagi dunia ilmiah? Tidak sampai disini saja, kami diajak berkeliling dari satu klaster ke klaster yang lain, dan bertemulah saya dengan replika ‘si kerdil Homo floresiensis’ (manusia dari flores) tepatnya di klaster Kikilan di pajang bersama replika dari Sangiran 17, sebagai seorang anak asli NTT sempat terperangga dan penuh pertanyaan mungkinkah ini nenek moyang kami? namun kembali tersadar bahwa produk akhir seleksi alam hanyalah organisme yang beradaptasi dengan lingkungannya saat ini Homo sapiens (manusia bijaksana). Benarkah Homo ini tergolong Homo erectus, Homo sapiens atau Homo habilis?.
Tulisan ini akan mengulas perdebatan yang tiada berujung mengenai Homo floresiensis.

Homo floresensis (manusia dari flores, Hobbit)
Dibandingkan dengan jenis lainnya, Homo floresiensis ini memiliki keistimewaan karena tubuhnya yang kerdil, dengan tinggi badan 106 cm, berat 25 kg  tengkoraknya panjang dan rendah, berukuran kecil dengan volume otak 380 cc, kapasitas karnial ini berada jauh dari Homo erectus (1.000 cc), manusia modern Homo Sapiens sapiens (1.400 cc) dan bahkan dibawah volume otak chimpanse (450 cc). Rahangnya kekar tetapi mempunyai gigi kecil dan tidak mempunyai dagu. Sedangkan proporsi muka, gigi-geligi, alat-alat kunyah, dan indra karnialnya relatif menyerupai manusia modern, inilah yang menyebabkan temuan ini sebagai milik genus Homo dan masih menjadi perdebatan hingga saat ini, terutama kecilnya ukuran tubuh dan proporsinya yang dianggap sebagai perkerdilan akibat implikasi endemik, penyakit dan lainnya.
Fosil ini ditemukan oleh seorang pastur bernama Verhoeven pada tahun 1958 di Goa Liang Bua dusun Rampasasa, Desa Liang Bua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mulanya Ia menemukan beberapa fragmen tulang iga yang berasosiasi dengan berbagai alat serpihan dan gerabah. Namun baru di umumkan sebagai temuan yang menghebohkan pada bulan september 2003 di bawah kerja sama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (dulu Puslit Arkenas) yang dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari University of New England. Dari cerita rakyat setempat, masyarakat flores menyebut manusia kerdil ini dengan nama Ebu Gogo. Rangka manusia ini ditemukan pada kedalaman 5.9 meter dari permukaan tanah menunjukkan umurnya 18.000 tahun, dan ditemukan seluruhnya berjumlah minimal 6 individu dan masih dalam bentuk subfosil (Sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu). Keenam sisa-sisa tulang itu diberi kode LB1 yang diperkirakan adalah betina dan ditemukan pada lapisan tanah berusia 18.000 tahun,  sampai LB6 yang masing-masing berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Usia dari Homo floresiensis diperhitungkan dari usia lapisan tanah dan bukan dari tulangnya sendiri, karena pendugaan usia kerangka dengan radioaktif sulit dilakukan, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia kerangka. Materi genetik pun tidak dapat diperoleh walaupun tulang tidak membatu, sehingga sulit dilakukannya  analisis DNA.

Homo floresiensis Perdebatan yang tak berujung

Penggalian di Gua Liang Bua ini telah menghasilkan apa yang disebut “penemuan yang paling penting dalam evolusi manusia selama 100 tahun” (Wood B. 28 Oktober 2004). Bagaimana tidak? Rangka manusia ini menggemparkan dunia ilmu pengetahuan dan menjadi perdebatan bagi para ahli. Terdapat dua arus pendapat, pertama yang menganggap Homo floresiensis sebagai spesies baru dari hominin, sering disebut Hobbit, yang dimotori oleh para peneliti dari Australia, antropolog Peter Brown, Michael Morwood, serta koleganya. Kedua yang mengatakan Homo floresiensis jenis yang sama dengan “Lucy”nya Australopithecus africanus, bukan spesies baru tetapi merupakan bagian dari spesies manusia modern dari bangsa Homo erectus atau yang lain, sekedar Homo sapiens yang menderita sindroma kekerdilan dan penyakit microchepaly, penyakit yang menyebabkan pengerdilan volume otak dan ukuran tubuh yang dimotori oleh Profesor Teuku jacob dan koleganya dari UGM, Yogyakarta. Perdebatan ini memanas dan menyebabkan Liang Gua dan beberapa Gua disekitarnya dinyatakan tutup untuk peneliti asing hingga sepeninggalnya Profesor Teuku Jacob tahun 2007, dan dibuka kembali untuk kepentingan penelitian. Di tahun yang sama para peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap morfologi tengkorak eksternal dari fosil yang ditemukan yang menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan spesies yang berbeda yang tidak terpengaruh oleh microcephaly. Penemuan ini di publikasikan dalam Jurnal PNAS oleh Harvard Univercity, Cambridge. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun Homo neandertal.
Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif daripada Homo sapiens dan berada pada wilayah variasi Homo erectus. Publikasi pertama yang dimuat di Anthropologi Science membandingkan LB1 dengan spesimen Homo sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa  primitif. Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa Homo floresiensis tidak dapat dipisahkan dari Homo erectus dan berbeda dengan Homo sapiens normal maupun patologis karena  microcephaly. Hasil analisis kladistika dan statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1 (betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan microcephaly, beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak Hominin purba menunjukkan bahwa Homo floresiensis secara nyata memilik ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal Significance. Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan Homo floresiensis dengan kerangka manusia kerdil atau katai (istilah yang dipakai Prof. Jacob) Flores yang menderita microcephaly.
Homo floresiensis, tidak sedikit kaum akademis yang meneliti, namun banyaknya variabel yang ada membuat semakin susah menemukan dan menentukan benang merahnya. Kombinasi karakter erectus dan sapiens ataukah sebagai hominin purba biarlah dinyatakan dalam konvensional kebijaksanaan dari ‘hukum murphy’ : apa yang terjadi, akan terjadi pada waktunya.

Foto diambil saat melakukan kuliah lapangan 'Evolusi' di Bumi Sangiran
#Replika Homo erectus '' Sangiran 17"













0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © EnnLaw | Floating Leaves template designed by ennyLaw | eLaw's Design