Si Kerdil Homo floresiensis “Perdebatan tiada berujung”
Anggreni Liunokas
Perjalanan menakjubkan ke zaman purba
Sabtu, 14 November 2015, jam 11.00
WIB, dengan diiringi terik sang surya yang mulai menunjukkan kekuasaannya atas
alam semesta ini, akhirnya rombongan kami yang dipimpin langsung oleh Bapak
Ferry Karwur tiba di bumi sangiran, sebuah situs arkeologi di jawa, Indonesia.
Daerah yang terdiri dari 56 km2 (7km × 8km) ini terletak di Jawa Tengah, sekitar
15 km sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo. Secara
administratif, kawasan Sangiran terbagi antara 2 kabupaten yaitu Kabupaten Sragen (Kecamatan
Gemolong, Kecamatan Kalijambe, dan
Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan
Gondangrejo). Di
sambut penuh ramah oleh Peneliti lulusan Arkeologi UGM, Pak Iwan Setiawan Bimas
mengisyaratkan sangiran sebagai tempat yang tepat untuk menjawab semua misteri
kehidupan dan budaya hidup manusia dalam situasi ilmiah. Beliau yang sudah
menantikan kedatangan kami langsung mengantarkan rombongan ke ruang pertemuan
Prof. Dr. Teuku Jacob, sengaja dinamakan demikian sebagai penghormatan atas
dedikasi yang luar biasa dalam mempelopori dan mengembangkan ilmu tentang
manusia purba (paleoantropologi) di Indonesia, telaah beliau terhadap
fosil-fosil manusia purba Sangiran telah menembus dalam di dunia ilmiah, yang
dikagumi secara nasional dan dihormati oleh kalangan internasional ujar Pak
Iwan sambil mempersiapkan materi ‘The
Homeland of Java Man’, namun sebelum materinya dimulai anggota rombongan kami
diperkenalkan satu per satu oleh pak Ferry agar kecanggungan bagi anggota
rombongan yang baru pertama kalinya datang dan bersentuhan langsung dengan
situs warisan dunia yang mengesankan ini bisa di minimalisir. Dan pemaparan
materi pun dimulai, semua yang ada termasuk saya sangat menikmati, terlelap dan
seakan turut ada dalam perjalanan menakjubkan ke ratusan bahkan miliaran tahun
lalu tanpa sekata patah pun hingga slide terakhir di tampilkan oleh pak Iwan,
yang ada hanya reaksi tepukkan tangan bahagia, puas, bangga dan merasa
mendapatkan sesuatu yang sangat berharga saat merasakan dengan kesadaran penuh jika
tempat kami duduk adalah sejarah ditemukannya Homo erectus (manusia tegak) jenis tipik yang dikenal “Sangiran 17“. Bagaimana jika kubah
sangiran ini tidak terbentuk? Akankah tetap menjadi teka teki bagi dunia
ilmiah? Tidak sampai disini saja, kami diajak berkeliling dari satu klaster ke
klaster yang lain, dan bertemulah saya dengan replika ‘si kerdil Homo floresiensis’ (manusia dari flores)
tepatnya di klaster Kikilan di pajang bersama replika dari Sangiran 17, sebagai seorang anak asli NTT sempat terperangga dan
penuh pertanyaan mungkinkah ini nenek moyang kami? namun kembali tersadar bahwa
produk akhir seleksi alam hanyalah organisme yang beradaptasi dengan
lingkungannya saat ini Homo sapiens
(manusia bijaksana). Benarkah Homo
ini tergolong Homo erectus, Homo sapiens atau Homo habilis?.
Tulisan ini akan mengulas perdebatan yang tiada berujung mengenai Homo floresiensis.
Homo floresensis (manusia dari flores, Hobbit)
Dibandingkan dengan
jenis lainnya, Homo floresiensis ini memiliki keistimewaan karena
tubuhnya yang kerdil, dengan tinggi badan 106 cm, berat 25 kg tengkoraknya panjang dan rendah, berukuran
kecil dengan volume otak 380 cc, kapasitas karnial ini berada jauh dari Homo
erectus (1.000 cc), manusia modern Homo Sapiens sapiens (1.400 cc)
dan bahkan dibawah volume otak chimpanse (450 cc). Rahangnya kekar
tetapi mempunyai gigi kecil dan tidak mempunyai dagu. Sedangkan proporsi muka,
gigi-geligi, alat-alat kunyah, dan indra karnialnya relatif menyerupai manusia
modern, inilah yang menyebabkan temuan ini sebagai milik genus Homo dan
masih menjadi perdebatan hingga saat ini, terutama kecilnya ukuran tubuh dan
proporsinya yang dianggap sebagai perkerdilan akibat implikasi endemik,
penyakit dan lainnya.
Fosil ini ditemukan
oleh seorang pastur bernama Verhoeven pada tahun 1958 di Goa Liang Bua dusun
Rampasasa, Desa Liang Bua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Provinsi
Nusa Tenggara Timur, mulanya Ia menemukan beberapa fragmen tulang iga yang
berasosiasi dengan berbagai alat serpihan dan gerabah. Namun baru di umumkan
sebagai temuan yang menghebohkan pada bulan september 2003 di bawah kerja sama
antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (dulu Puslit Arkenas) yang dipimpin
oleh Raden Pandji Soejono dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari University
of New England. Dari cerita rakyat setempat, masyarakat flores menyebut manusia
kerdil ini dengan nama Ebu Gogo. Rangka manusia ini ditemukan pada
kedalaman 5.9 meter dari permukaan tanah menunjukkan umurnya 18.000 tahun, dan
ditemukan seluruhnya berjumlah minimal 6 individu dan masih dalam bentuk
subfosil (Sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu). Keenam sisa-sisa
tulang itu diberi kode LB1 yang diperkirakan adalah betina dan ditemukan
pada lapisan tanah berusia 18.000 tahun,
sampai LB6 yang masing-masing berusia antara 94.000 dan 13.000
tahun. Usia dari Homo floresiensis diperhitungkan dari usia lapisan tanah dan
bukan dari tulangnya sendiri, karena pendugaan usia kerangka dengan radioaktif
sulit dilakukan, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia
kerangka. Materi genetik pun tidak dapat diperoleh walaupun tulang tidak
membatu, sehingga sulit dilakukannya
analisis DNA.
Homo floresiensis Perdebatan yang tak berujung
Penggalian di Gua
Liang Bua ini telah menghasilkan apa yang disebut “penemuan yang paling penting
dalam evolusi manusia selama 100 tahun” (Wood B. 28 Oktober 2004). Bagaimana
tidak? Rangka manusia ini menggemparkan dunia ilmu pengetahuan dan menjadi perdebatan
bagi para ahli. Terdapat dua arus pendapat, pertama yang menganggap Homo floresiensis
sebagai spesies baru dari hominin, sering disebut Hobbit, yang dimotori oleh
para peneliti dari Australia, antropolog Peter Brown, Michael Morwood, serta
koleganya. Kedua yang mengatakan Homo floresiensis jenis yang sama
dengan “Lucy”nya Australopithecus africanus, bukan spesies
baru tetapi merupakan bagian dari spesies manusia modern dari bangsa Homo
erectus atau yang lain, sekedar Homo sapiens yang menderita sindroma
kekerdilan dan penyakit microchepaly, penyakit yang menyebabkan
pengerdilan volume otak dan ukuran tubuh yang dimotori oleh Profesor Teuku
jacob dan koleganya dari UGM, Yogyakarta. Perdebatan ini memanas dan
menyebabkan Liang Gua dan beberapa Gua disekitarnya dinyatakan tutup untuk
peneliti asing hingga sepeninggalnya Profesor Teuku Jacob tahun 2007, dan
dibuka kembali untuk kepentingan penelitian. Di tahun yang sama para peneliti Homo
floresiensis menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap morfologi
tengkorak eksternal dari fosil yang ditemukan yang menunjukkan bahwa Homo
floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan spesies yang berbeda
yang tidak terpengaruh oleh microcephaly. Penemuan ini di publikasikan
dalam Jurnal PNAS oleh Harvard Univercity, Cambridge. Hal ini
sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan mengenai
keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo
floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern)
maupun Homo neandertal.
Dua publikasi pada
tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif daripada Homo
sapiens dan berada pada wilayah variasi Homo erectus. Publikasi
pertama yang dimuat di Anthropologi Science membandingkan LB1 dengan
spesimen Homo sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa primitif. Hasil kajian morfometri ini
menunjukkan bahwa Homo floresiensis tidak dapat dipisahkan dari Homo erectus
dan berbeda dengan Homo sapiens normal maupun patologis karena microcephaly. Hasil analisis kladistika
dan statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari
individu LB1 (betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern
dengan microcephaly, beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia,
serta tengkorak Hominin purba menunjukkan bahwa Homo floresiensis
secara nyata memilik ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat
kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal Significance.
Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan Homo floresiensis
dengan kerangka manusia kerdil atau katai (istilah yang dipakai Prof. Jacob)
Flores yang menderita microcephaly.
Homo floresiensis, tidak sedikit kaum
akademis yang meneliti, namun banyaknya variabel yang ada membuat semakin susah
menemukan dan menentukan benang merahnya. Kombinasi karakter erectus dan
sapiens ataukah sebagai hominin purba biarlah dinyatakan dalam
konvensional kebijaksanaan dari ‘hukum murphy’ : apa yang terjadi, akan
terjadi pada waktunya.
Foto diambil saat melakukan kuliah lapangan 'Evolusi' di Bumi Sangiran #Replika Homo erectus '' Sangiran 17" |
0 komentar:
Posting Komentar